ADA APA
DENGAN PNPM-MPd
PNPM-MPd sebentar lagi
selesai, beragam tanggapan muncul, ada yang mempertanyakan, lalu bagaimana
nasib kami? Bukankah kami telah memberikan andil dalam perjalanan PNPM-MPd,
lalu setelah PNPM-MPd berakhir kami akan ditinggalkan begitu saja?
Ada juga yang sudah ambil
ancang-ancang, apa yang akan dikerjakan pasca berakhirnya PNPM-MP, dari mulai
melamar menjadi karyawan pada perusahaan lain, atau membuka usaha sendiri,
dengan pertimbangan, usaha sendiri, kelak, akan menghindarkan diri dari
berulangnya mencari pekerjaan baru, setelah sekian lama bekerja, lalu karena
sesuatu dan lain hal, tempatnya bekerja, memaksanya untuk berhenti bekerja.
Apapun yang akan dilakukan
sah-sah saja, selama dilakukan, masih dalam koridor tidak melawan hukum. Negara
ini, akan merasa kehilangan jika seluruh mantan pelaku PNPM-MPd hanya berpangku
tangan tanpa melakukan sesuatu. Lebih merasa kehilangan dan merasa dirugikan
lagi, jika mantan pelaku PNPM-MPd bersepakat untuk melakukan sesuatu yang
melanggar hukum.
Maka, berbesar hatilah,
teman-teman adalah agen perubahan, apapun posisi teman-teman sebagai pelaku
PNPM-MPd. Teman-teman adalah motivator dan fasilitator. Lalu sebagai motivator
dan fasilitator apakah teman-teman akan terpuruk, ketika program ini berakhir?
Sementara mereka yang teman-teman motivatori dan fasilitasi telah merangkak
maju, baik dalam bidang ekonomi maupun dalam peningkatan ilmu dan pemahaman
tentang arti sebuah kemajuan. Jika teman-teman benar merasa terpuruk, maka itu,
membuktikan bahwa teman-teman selama ini, selama menjadi pelaku PNPM-MPd,
bukanlah agen perubahan, bukanlah motivator dan bukanlah sebagai fasilitator.
Tetapi, teman-teman adalah seorang pecundang, yang hanya menumpang hidup, yang
bekerja pada program PNPM-MPd sebagai mata pencahariaan, dikarenakan teman-teman
tidak laku untuk bekerja di luar PNPM-MPd.
Pertanyaannya sekarang,
bukanlah apa yang telah PNPM-MPd berikan pada teman-teman semua? Tetapi apakah
yang telah teman-teman berikan pada PNPM-MPd Minimal apa yang tertinggal dari
PNPM-MPd terhadap teman-teman semua? Bukan dalam bentuk harta dan materi.
Karena, jika dalam bentuk harta dan materi, teman-teman dapat cari diluar
program PNPM-MPd, mungkin dengan jumlah dan kualitas yang jauh lebih banyak dan
lebih baik. Yang tertinggal itu, dalam bentuk semangat dan spirit. Sehingga
teman-teman akan berbeda dengan mereka yang alumnus program yang dianggap
sama dengan program PNPM-MPd
Karena sesungguhnya,
bekerja pada program PNPM-MPd itu, lebih berat daripada seorang Tentara pada
medan pertempuran. Mengapa demikian? Serdadu ketika bertempur, musuhnya jelas,
sosok yang berada diluar tubuhnya, sosok yang ketika bertemu, hanya satu
penyelesaian yang perlu dilakukan, yakni BUNUH..!!!
Tetapi dalam program
PNPM-MPd, musuhnya sama sekali berbeda dengan musuh yang dihadapi serdadu.
Musuh dalam PNPM-MPd adalah sosok pelaku itu sendiri, dirinya sendiri.
Dirinya sendirilah yang
harus dia kalahkan. Pelaku PNPM-MPd harus mengalahkan dirinya sendiri, terhadap
ego yang ada dalam dirinya. Dirinya harus membuang ego bahwa dia adalah sarjana
yang berhadapan dengan mayarakat Desa yang bodoh. Masyarakat yang bodoh itu,
bukanlah obyek yang dapat diperbodoh atau dibodoh-bodohin oleh sang
fasilitator, melainkan obyek yang harus dia bimbing, menjadi masyarakat pintar,
masyarakat yang menyadari akan harga dirinya, menyadari akan kemanusiaannya,
menyadari apa-apa yang selama ini luput dari perhatiannya, sehingga mereka
menjadi masyarakatyang tertinggal, baik secara ekonomi, secara ilmu
pengetahuan, maupun akses menuju ekonomi dan illmu pengetahuan itu sendiri.
Sang fasilitator harus
mengalahkan dirinya sendiri dari ego kedaerahan, ketika sang
fasilitator datang pada daerah tugasnya. Dia tidak perlu menceritakan atau
membanding-bandingkan kemajuan daerah asalnya dengan daerah tugasnya. Pengkultusan
pada daerah asal sang fasilitator, hanya akan menimbulkan resistensi atau
penolakan terhadap sang fasilitator, dari masyarakat dimana dia ditempatkan.
Padahal tugas utamanya, membawa masyarakat yang difasilitasi mendekati atau
jika mungkin akan sama dengan daerah asal dimana sang fasilitator berasal.
Sekali lagi, bukan membandingkan, melainkan mengulurkan tangan, membawa
masyarakat pada bentuk idealnya sebuah komunitas sebagaimana yang diidealkan
oleh sang fasilitator.
Fasilitator juga, harus mengalahkan
dirinya sendiri, agar bisa masuk pada daerah tugasnya, mampu merasakan “rasa”
daerah tugasnya. Menyelami aspirasi masyarakat, cara pikir masyarakatnya,
budaya masyarakatnya, sekaligus membawa perubahan sesuai misi yang diembannya.
Pengalahan-pengalahan diri
itu, tak ada sekolahnya, tak ada dalam tupoksi PNPM-MPd bahkan dalam buku
texbook sekalipun. Dia hanya bisa dipelajari dari pengalaman mereka yang telah
mengalaminya, dari data empiris sang pelaku pendahulunya.
Maka, dengan pertimbangan
dan jawaban dari apa yang tertinggal dari PNPM-MPd itu, saya telah membuat sebuah
catatan yang berbentuk memoar yang siap untuk dibukukan. Tujuannya
jelas, memberikan sebuah guide bagi sang agen perubahan yang akan datang berupa
rambu-rambu yang mereka tidak peroleh dari pelatihan-pelatihan formil yang
dilakukan oleh program PNPM-MPd. Karena, disadari atau tidak, banyak kendala
dan kegagalan yang terjadi di lapangan, bukan disebabkan karena program ini
kurang baik, atau tidak menyentuh kebutuhan dasar masyarakat. Tetapi, lebih
disebabkan oleh kegagalan sang pelaku dalam mengalahkan dirinya sendiri. Hal
itu terjadi bukan hanya pada mereka yang berada pada garis depan, melainkan
terjadi pada semua lini, mulai dari mereka yang berada di kecamatan hingga
korprov di Provinsi.
Buku memoar ini, akan
memiliki halaman kurang lebih 180 halaman. Mengenai penerbitannya, saya
tawarkan pada Program PNPM-MPd, dengan pertimbangan, jika saja program mau
menerbitkannya, maka PNPM-MPd, juga mau mendistribusikannya. Bayangkan …!!! Jumlah
kecamatan di Indonesia berjumlah 6.524 (enam ribu lima ratus dua pluh empat)
Kecamatan. Jika saja setengahnya bisa didistribusikan, maka side effect yang
ditimbulkannya luar biasa….tak terbayangkan.
Dananya dari mana? Mungkin
itu pertanyaan berikutnya. Jangan tanya soal dana, tetapi, tanya soal mau atau
tidak mau. Jika mau, apanya yang sulit? Untuk latihan penyegaran saja, setiap
tahun Program PNPM-MPd mampu menyelenggarakanya di hotel berbintang empat
selama satu minggu, rakor Provinsi setiap bulan mampu dilakukan selama dua hari
di hotel berbintang tiga. Lalu apa masalahnya untuk penerbitan buku yang per
buahnya, tidak mencapai harga lima puluh ribu rupiah.
Sekali lagi, itu hanya
tawaran, pada sebuah cinderamata berbentuk literasi yang akan selalu dikenang
sebelum Program yang katanya terbaik di Indonesia ini berakhir.
Namun, jika tawaran ini,
tidak mendapat sambutan sebagaimana yang diharapkan. maka hanya sebuah kalimat
yang menyertainya. Seribu Satu Jalan ke Roma.
Masih tersedia banyak
kemungkinan yang lain.
Semoga…!!!
Penulis: Cut Intan Safitri
Ahmad
Motivator Kawula Muda Aceh
No comments:
Post a Comment