Ada Apa Dengan PNPM-Mandiri Perdesaan

10/11/2014



ADA APA DENGAN PNPM-MPd

PNPM-MPd sebentar lagi selesai, beragam tanggapan muncul, ada yang mempertanyakan, lalu bagaimana nasib kami? Bukankah kami telah memberikan andil dalam perjalanan PNPM-MPd, lalu setelah PNPM-MPd berakhir kami akan ditinggalkan begitu saja?
Ada juga yang sudah ambil ancang-ancang, apa yang akan dikerjakan pasca berakhirnya PNPM-MP, dari mulai melamar menjadi karyawan pada perusahaan lain, atau membuka usaha sendiri, dengan pertimbangan, usaha sendiri, kelak, akan menghindarkan diri dari berulangnya mencari pekerjaan baru, setelah sekian lama bekerja, lalu karena sesuatu dan lain hal, tempatnya bekerja, memaksanya untuk berhenti bekerja.
Apapun yang akan dilakukan sah-sah saja, selama dilakukan, masih dalam koridor tidak melawan hukum. Negara ini, akan merasa kehilangan jika seluruh mantan pelaku PNPM-MPd hanya berpangku tangan tanpa melakukan sesuatu. Lebih merasa kehilangan dan merasa dirugikan lagi, jika mantan pelaku PNPM-MPd bersepakat untuk melakukan sesuatu yang melanggar hukum.
Maka, berbesar hatilah, teman-teman adalah agen perubahan, apapun posisi teman-teman sebagai pelaku PNPM-MPd. Teman-teman adalah motivator dan fasilitator. Lalu sebagai motivator dan fasilitator apakah teman-teman akan terpuruk, ketika program ini berakhir? Sementara mereka yang teman-teman motivatori dan fasilitasi telah merangkak maju, baik dalam bidang ekonomi maupun dalam peningkatan ilmu dan pemahaman tentang arti sebuah kemajuan. Jika teman-teman benar merasa terpuruk, maka itu, membuktikan bahwa teman-teman selama ini, selama menjadi pelaku PNPM-MPd, bukanlah agen perubahan, bukanlah motivator dan bukanlah sebagai fasilitator. Tetapi, teman-teman adalah seorang pecundang, yang hanya menumpang hidup, yang bekerja pada program PNPM-MPd sebagai mata pencahariaan, dikarenakan teman-teman tidak laku untuk bekerja di luar PNPM-MPd.
Pertanyaannya sekarang, bukanlah apa yang telah PNPM-MPd berikan pada teman-teman semua? Tetapi apakah yang telah teman-teman berikan pada PNPM-MPd Minimal apa yang tertinggal dari PNPM-MPd terhadap teman-teman semua? Bukan dalam bentuk harta dan materi. Karena, jika dalam bentuk harta dan materi, teman-teman dapat cari diluar program PNPM-MPd, mungkin dengan jumlah dan kualitas yang jauh lebih banyak dan lebih baik. Yang tertinggal itu, dalam bentuk semangat dan spirit. Sehingga teman-teman akan berbeda dengan mereka yang alumnus program yang dianggap sama dengan program PNPM-MPd
Karena sesungguhnya, bekerja pada program PNPM-MPd itu, lebih berat daripada seorang Tentara pada medan pertempuran. Mengapa demikian? Serdadu ketika bertempur, musuhnya jelas, sosok yang berada diluar tubuhnya, sosok yang ketika bertemu, hanya satu penyelesaian yang perlu dilakukan, yakni BUNUH..!!!
Tetapi dalam program PNPM-MPd, musuhnya sama sekali berbeda dengan musuh yang dihadapi serdadu. Musuh dalam PNPM-MPd adalah sosok pelaku itu sendiri, dirinya sendiri.
Dirinya sendirilah yang harus dia kalahkan. Pelaku PNPM-MPd harus mengalahkan dirinya sendiri, terhadap ego yang ada dalam dirinya. Dirinya harus membuang ego bahwa dia adalah sarjana yang berhadapan dengan mayarakat Desa yang bodoh. Masyarakat yang bodoh itu, bukanlah obyek yang dapat diperbodoh atau dibodoh-bodohin oleh sang fasilitator, melainkan obyek yang harus dia bimbing, menjadi masyarakat pintar, masyarakat yang menyadari akan harga dirinya, menyadari akan kemanusiaannya, menyadari apa-apa yang selama ini luput dari perhatiannya, sehingga mereka menjadi masyarakatyang tertinggal, baik secara ekonomi, secara ilmu pengetahuan, maupun akses menuju ekonomi dan illmu pengetahuan itu sendiri.
Sang fasilitator harus mengalahkan dirinya sendiri dari ego kedaerahan, ketika sang fasilitator datang pada daerah tugasnya. Dia tidak perlu menceritakan atau membanding-bandingkan kemajuan daerah asalnya dengan daerah tugasnya. Pengkultusan pada daerah asal sang fasilitator, hanya akan menimbulkan resistensi atau penolakan terhadap sang fasilitator, dari masyarakat dimana dia ditempatkan. Padahal tugas utamanya, membawa masyarakat yang difasilitasi mendekati atau jika mungkin akan sama dengan daerah asal dimana sang fasilitator berasal. Sekali lagi, bukan membandingkan, melainkan mengulurkan tangan, membawa masyarakat pada bentuk idealnya sebuah komunitas sebagaimana yang diidealkan oleh sang fasilitator.
Fasilitator juga, harus mengalahkan dirinya sendiri, agar bisa masuk pada daerah tugasnya, mampu merasakan “rasa” daerah tugasnya. Menyelami aspirasi masyarakat, cara pikir masyarakatnya, budaya masyarakatnya, sekaligus membawa perubahan sesuai misi yang diembannya.
Pengalahan-pengalahan diri itu, tak ada sekolahnya, tak ada dalam tupoksi PNPM-MPd bahkan dalam buku texbook sekalipun. Dia hanya bisa dipelajari dari pengalaman mereka yang telah mengalaminya, dari data empiris sang pelaku pendahulunya.
Maka, dengan pertimbangan dan jawaban dari apa yang tertinggal dari PNPM-MPd itu, saya telah membuat sebuah catatan yang berbentuk memoar yang siap untuk dibukukan. Tujuannya jelas, memberikan sebuah guide bagi sang agen perubahan yang akan datang berupa rambu-rambu yang mereka tidak peroleh dari pelatihan-pelatihan formil yang dilakukan oleh program PNPM-MPd. Karena, disadari atau tidak, banyak kendala dan kegagalan yang terjadi di lapangan, bukan disebabkan karena program ini kurang baik, atau tidak menyentuh kebutuhan dasar masyarakat. Tetapi, lebih disebabkan oleh kegagalan sang pelaku dalam mengalahkan dirinya sendiri. Hal itu terjadi bukan hanya pada mereka yang berada pada garis depan, melainkan terjadi pada semua lini, mulai dari mereka yang berada di kecamatan hingga korprov di Provinsi.
Buku memoar ini, akan memiliki halaman kurang lebih 180 halaman. Mengenai penerbitannya, saya tawarkan pada Program PNPM-MPd, dengan pertimbangan, jika saja program mau menerbitkannya, maka PNPM-MPd, juga mau mendistribusikannya. Bayangkan …!!! Jumlah kecamatan di Indonesia berjumlah 6.524 (enam ribu lima ratus dua pluh empat) Kecamatan. Jika saja setengahnya bisa didistribusikan, maka side effect yang ditimbulkannya luar biasa….tak terbayangkan.
Dananya dari mana? Mungkin itu pertanyaan berikutnya. Jangan tanya soal dana, tetapi, tanya soal mau atau tidak mau. Jika mau, apanya yang sulit? Untuk latihan penyegaran saja, setiap tahun Program PNPM-MPd mampu menyelenggarakanya di hotel berbintang empat selama satu minggu, rakor Provinsi setiap bulan mampu dilakukan selama dua hari di hotel berbintang tiga. Lalu apa masalahnya untuk penerbitan buku yang per buahnya, tidak mencapai harga lima puluh ribu rupiah.
Sekali lagi, itu hanya tawaran, pada sebuah cinderamata berbentuk literasi yang akan selalu dikenang sebelum Program yang katanya terbaik di Indonesia ini berakhir.
Namun, jika tawaran ini, tidak mendapat sambutan sebagaimana yang diharapkan. maka hanya sebuah kalimat yang menyertainya. Seribu Satu Jalan ke Roma.
Masih tersedia banyak kemungkinan yang lain.
Semoga…!!!

Penulis: Cut Intan Safitri Ahmad
Motivator Kawula Muda Aceh

Share

No comments:

Post a Comment

 
Copyright © 2015 PUGAGAMPONG.com
Powered By Blogger