Oleh : Cut Intan Safitri Binti Ahmad
Cut Intan Safitri Binti Ahmad |
Belum juga Presiden Jokowi dilantik,
publik terus bertanya-tanya. Publik yang dimaksud adalah mereka yang bergerak
di dunia pemberdayaan. Salah satunya dalam naungan program PNPM Mandiri
Perdesaan. Perasaaan galau muncul menyusul keputusan DPR terkait pengalihan BLM
Rp.9,1 Trilyun untuk Dana Desa. Pertanyaan simpelnya, kalau sudah tidak ada BLM
trus apa masih ada Fasilitator?
Praktek selama
ini, Fasilitator dikontrak untuk mengawal BLM (Bantuan Langsung Masyarakat). Di
lokasi kecamatan/desa yang masih terkucur BLM pasti ada Fasilitator. Sebaliknya,
yang tidak ada kucuran BLM.
Intinya, ada peran Fasilitator melekat dengan
kucuran BLM. Bisa dimaklumi jika saat ini tidak kurang dari 11 ribu Fasilitator
yang tersebar di 33 provinsi lokasi PNPM Mandiri (Perdesaan) dalam posisi
bertanya. Lanjut atau tidak? Apalagi sekarang ini mereka sedang berjibaku
dengan tahapan perencanaan pembangunan di tingkat desa. Tentunya tak bisa
ditunda sementara kepastian BLM sebagai dasar perencanaan tidak ada informasi.
Alhasil,
kebingunan masih terjadi. Hingga saat ini public/Fasilitator belum tahu
bagaimana isi RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) Pemerintahan
Jokowi-JK. Di dalamnya pasti termuat kebijakan pembangunan dan pemberdayaan
desa. Di masa pemerintahan SBY, PNPM Mandiri (Perdesaan) termasuk program
unggulan yang diarahkan untuk mengurangi, menanggulangi, dan memberdayakan
orang miskin.
Dengan
bergantinya pemerintahan, sudah tentu kebijakan pemerintahan SBY sebagaimana
tertuang dalam RPJMN berakhir. Hanya saja, apakah ada yang total dihentikan
atau masih diteruskan (diadopsi) oleh pemerintahan Jokowi, publik belum tahu.
Sebagian pengamat menilai dengan diberlakukannya UU Desa per Januari 2015 esok,
PNPM Mandiri Perdesaan tak lagi relevan dilakukan.
Pendapat ini
cukup berdasar. Untuk menghindari overlapping, maka UU Desa harus efektif
dilakukan. Sebagaimana sketsa awal, maka dana program dari seluruh
kementerian/lembaga yang mengucur desa sudah sepatutnya dialihkan ke Dana Desa.
Hal ini juga untuk memenuhi proporsionalitas 10% dana perimbangan (di luar dana
transfer daerah).
Perhitungannya
sekitar Rp 64 trilyun/tahun. Jika yang terjadi hanya pengalihan dana BLM PNPM
Mandiri Perdesaan sebesar Rp 9,1 trilyun, maka bukan hanya angkanya yang minim
(hanya 10%), tetapi kurang adil karena hanya BLM PNPM Mandiri Perdesaan yang
dialihkan. Kesannya, bahkan seperti dikorbankan. Bagaimana dengan program dari
kementerian/lembaga lain, kenapa tidak diberlakukan kebijakan (dialihkan) yang
sama.
Inilah yang
menjadi catatan carut-marut kebijakan. Tampak sekali koordinasi lintas sektor
antar kementerian/lembaga sulit diwujudkan. Bahkan ego sektoral kian menguat.
Sayangnya justru PNPM Mandiri Perdesaan yang dikorbankan dengan alasan sebagai
dana yang mutlak mengucur ke desa. Padahal PPIP yang dikendalikan Kementerian
PU, P2KP/PNPM Perkotaan juga ada yang menyasar ke desa.
Kesimpulannya,
ribuan fasilitator di PNPM Mandiri Perdesaan sekarang terancam off alias
menganggur. Emang ada yang salah? Kan memang mereka dikontrak selama program
berjalan. Kalau sudah off ya otomatis selesai. Toh, di UU Desa ada kebutuhan
tenaga pendamping professional bisa saja masuk ke situ.
Justru inilah
yang jadi pertanyaan besar. Hingga sekarang kebijakan integrasi PNPM Mandiri
Perdesaan ke UU Desa belum sepenuhnya berhasil. Meskipun ada kalimat tenaga
pendamping professional, tetapi skema, tata kelola, hubungannya seperti apa
belum terlihat. Karenanya, muncul spekulasi bahwa tidak otomatis fasilitator
PNPM Mandiri Perdesaan jadi tenaga pendamping.
Jika memang
demikian, maka kehidupan Fasilitator ibarat sudah jatuh terimpa tangga.
Pertama, mengapa hanya BLM PNPM Mandiri Perdesaan yang dialihkan dan kedua
mengapa tidak dibuat kebijakan untuk mewadahi/menyalurkan fasilitator yang
sebelumnya ada ke pendamping desa.
Bukankah mereka
juga anak bangsa yang sudah terlatih. Tak hanya di bidang administrasi proyek,
juga keterampilan komunikasi, mobilisasi, pengendalian masalah. Tak sedikit
pula yang punya komitmen tinggi sehingga menjadi Fasilitator lebih dari 10
tahun. Mereka juga memiliki kinerja yang terukur sesuai key performance yang
telah ditetapkan.
Jika akhirnya
dinonaktifkan, sesungguhnya pemerintah akan menelan biaya tinggi lagi untuk melatih
tenaga pendamping baru. Khususnya untuk akuntabilitas laporan. Sebagaimana
sering terungkap dalam workshop UU Desa, jangan sampai UU Desa menjadi momentum
banyaknya jaksa masuk desa. Dalam statemen lain, jangan sampai Kepala Desa
justru menjadi penghuni hotel prodeo (penjara).
Yang terbaik
adalah jangan memutus mata rantai sejarah. Itulah kesimpulan saya. Yang baik
disempurnakan, dan yang buruk ditinggalkan. Semoga pemerintahan Jokowi-JK tidak
bersikap antipati terhadap keberhasilan yang dilakukan oleh Pemerintah SBY yang
salah satunya melalui PNPM Mandiri Perdesaan. Perlu diingat, sukses program
tersebut juga tak lepas dari kerja keras Fasilitator.
No comments:
Post a Comment