Benarkah pemerintah mendadak begitu saja memberhentikan mereka? Ini menarik untuk di ulik.
Surat No. 412.23/3086/PMD dari Dirjen PMD yang ditandatangani oleh Pak
Tarmizi Karim tertanggal 23 April 2014 yang mengarahkan UPK menjadi LKM
sebenarnya merupakan sebuah sinyal. Terlepas dari setuju tidaknya
teman-teman fasilitator atau UPK, sepertinya pemerintah khususnya
Kemendagri yang diwakili oleh Dirjen PMD sudah bersiap untuk itu.
Berakhirnya program harus ada exit strategy. Dan sepertinya surat itu
merupakan jawaban atas pertanyaan teman-teman UPK sejak dulu. Mau
dijadikan apakah UPK itu.
Kalau toh benar begitu rencana
pemerintah, yakni menjadikan UPK sebagai LKM, semestinya tugas
teman-teman fasilitator adalah memfasilitasinya. Jika ditanyakan siapa
pemilik aset, maka jawabannya sudah jelas: Masyarakat. Lalu masyarakat
yang mana dimaksud?
Dengan disahkannya UU No. 6 Tahun 2014 dan PP
No. 43 dimana salah satu pasalnya tentang Badan Kerjasama antar Desa,
maka mungkin yang dimaksud masyarakat ialah mereka yang keterwakilannya
direpresentasikan oleh BKAD. Melalui proses MAD, masyarakat memberikan
mandat kepemilikan aset kepada BKAD. Dalam hal ini payung hukum yang
dipakai ialah UU No. 6 Tahun 2014, PP No. 43 dan tentu saja Peraturan
Bersama Desa. Maka sepertinya payung hukum BKAD itu sudah cukup.
Namun demikian, karena UPK mengelola dana bergulir yang kemudian oleh
pemerintah diatur dalam UU No. 1 Tahun 2013, mau tidak mau semua lembaga
keuangan harus berbadan hukum. Kita ambil contoh, pemerintah telah
memayungi BUMN melalui UU tentang BUMN. Tapi tidak berhenti disitu.
Semua kegiatan usaha yang dilakukan oleh BUMN tetap harus berbadan
hukum.
Kalau mengacu surat tersebut dan UU No. 1 Tahun 2013, maka UPK harus memilih bentuk badan hukum yakni PT atau Koperasi.
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya, mengapa surat bernomor No.
412.43/30u6/PMD itu tidak ditindaklanjuti. Kalau toh ada ketakutan
dengan berbadan hukum entah PT atau koperasi kemudian menghilangkan ruh
pemberdayaan, maka bisa didiskusikan. Dalam AD ART dan SOP tentang itu
bisa tetap dimasukkan unsur pemberdayaan, baik dalam sisi proses
kegiatan maupun hasil.
Alih-alih menfasilitasi UPK menjadi
berbadan hukum, justru muncul PTO 2014 yang sempat membuat riuh rendah.
Kemunculan PTO 2014 dan optimisme dari teman-teman fasilitator akan
keberlanjutan program membuat sebagian mereka terkaget-kaget dengan
surat tertanggal 29 Desember 2014. Padahal jika benar niatan pemerintah
ingin menjadikan UPK sebagai LKM dengan memberikan tugas para
fasilitator untuk menfasilitasi, maka surat itu sudah wajar.
Ini analisa subyektif saya.
No comments:
Post a Comment