Analisis Akhir Program

1/04/2015

Menarik apa yang disampaikan oleh Mas Budiman Sudjatmiko tentang bahaya memberhentikan 16 ribu fasilitator PNPM Mandiri Perdesaan. Berakhirnya program sebenarnya sudah diprediksikan dari dulu. Namun demikian masih banyak teman-teman fasilitator yang berharap program akan segera berlanjut. Keberhasilan-keberhasilan di lapangan dengan didukung fakta bahwa program ini ditiru oleh banyak negara membuat mereka semakin percaya diri. Sebenarnya apapun namanya kalau masih bertajuk program, suatu saat pasti akan berhenti. Tinggal bagaimana kita mensikapi untuk melakukan antisipasi.
Benarkah pemerintah mendadak begitu saja memberhentikan mereka? Ini menarik untuk di ulik.
Surat No. 412.23/3086/PMD dari Dirjen PMD yang ditandatangani oleh Pak Tarmizi Karim tertanggal 23 April 2014 yang mengarahkan UPK menjadi LKM sebenarnya merupakan sebuah sinyal. Terlepas dari setuju tidaknya teman-teman fasilitator atau UPK, sepertinya pemerintah khususnya Kemendagri yang diwakili oleh Dirjen PMD sudah bersiap untuk itu. Berakhirnya program harus ada exit strategy. Dan sepertinya surat itu merupakan jawaban atas pertanyaan teman-teman UPK sejak dulu. Mau dijadikan apakah UPK itu.
Kalau toh benar begitu rencana pemerintah, yakni menjadikan UPK sebagai LKM, semestinya tugas teman-teman fasilitator adalah memfasilitasinya. Jika ditanyakan siapa pemilik aset, maka jawabannya sudah jelas: Masyarakat. Lalu masyarakat yang mana dimaksud?
Dengan disahkannya UU No. 6 Tahun 2014 dan PP No. 43 dimana salah satu pasalnya tentang Badan Kerjasama antar Desa, maka mungkin yang dimaksud masyarakat ialah mereka yang keterwakilannya direpresentasikan oleh BKAD. Melalui proses MAD, masyarakat memberikan mandat kepemilikan aset kepada BKAD. Dalam hal ini payung hukum yang dipakai ialah UU No. 6 Tahun 2014, PP No. 43 dan tentu saja Peraturan Bersama Desa. Maka sepertinya payung hukum BKAD itu sudah cukup.
Namun demikian, karena UPK mengelola dana bergulir yang kemudian oleh pemerintah diatur dalam UU No. 1 Tahun 2013, mau tidak mau semua lembaga keuangan harus berbadan hukum. Kita ambil contoh, pemerintah telah memayungi BUMN melalui UU tentang BUMN. Tapi tidak berhenti disitu. Semua kegiatan usaha yang dilakukan oleh BUMN tetap harus berbadan hukum.
Kalau mengacu surat tersebut dan UU No. 1 Tahun 2013, maka UPK harus memilih bentuk badan hukum yakni PT atau Koperasi.
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya, mengapa surat bernomor No. 412.43/30u6/PMD itu tidak ditindaklanjuti. Kalau toh ada ketakutan dengan berbadan hukum entah PT atau koperasi kemudian menghilangkan ruh pemberdayaan, maka bisa didiskusikan. Dalam AD ART dan SOP tentang itu bisa tetap dimasukkan unsur pemberdayaan, baik dalam sisi proses kegiatan maupun hasil.
Alih-alih menfasilitasi UPK menjadi berbadan hukum, justru muncul PTO 2014 yang sempat membuat riuh rendah. Kemunculan PTO 2014 dan optimisme dari teman-teman fasilitator akan keberlanjutan program membuat sebagian mereka terkaget-kaget dengan surat tertanggal 29 Desember 2014. Padahal jika benar niatan pemerintah ingin menjadikan UPK sebagai LKM dengan memberikan tugas para fasilitator untuk menfasilitasi, maka surat itu sudah wajar.
Ini analisa subyektif saya.
Share

No comments:

Post a Comment

 
Copyright © 2015 PUGAGAMPONG.com
Powered By Blogger