PEMBANGUNAN daerah dan desa menjadi salah satu agenda utama
pemerintahan baru sebagaimana yang tercantum dalam Nawa Cita ketiga
"membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan
desa dalam kerangka negara kesatuan".
Hal tersebut sekiranya selaras dengan kebijakan yang sudah dijalankan
oleh pemerintah terkait pola hubungan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah, dimana sejak 1 Januari 2001 Indonesia resmi mengimplementasikan
pola otonomi daerah dari sisi kewenangan serta desentralisasi fiskal
dari sisi keuangannya.
Kebijakan tersebut didasarkan kepada Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 yang sudah direvisi menjadi UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah serta UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. PEMBANGUNAN DESA
Kebijakan tersebut didasarkan kepada Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 yang sudah direvisi menjadi UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah serta UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. PEMBANGUNAN DESA
Meskipun sudah dijalankan sejak era Orde Lama, ada hal yang
membedakan pelaksanaan desentralisasi fiskal di era reformasi saat ini.
Jika sebelumnya otonomi daerah diletakkan di level provinsi, maka
desentralisasi fiskal yang dijalankan saat ini justru menitikberatkan
penyerahan kewenangan di level kabupaten/kota demi memperpendek rentang
birokrasi. PEMBANGUNAN DESA
Di sisi lain, desentralisasi fiskal juga dimaksudkan sebagai salah
satu policy bagi pemerintah untuk menciptakan aspek kemandirian dalam
memenuhi aspek penciptaan kesejahteraan masyarakat dan pelayanan umum.
Karenanya, seluruh fungsi kewenangan diserahkan kepada daerah, kecuali
di 5 bidang kewenangan yakni keuangan dan moneter, pertahanan dan
keamanan, sistem peradilan, keagamaan, dan politik luar negeri yang
masih menjadi urusan Pemerintah Pusat. PEMBANGUNAN DESA
Sebagai konsekuensi penyerahan kewenangan kepada daerah, pemerintah
juga wajib mengalihkan sumber-sumber pembiayaan kepada daerah sesuai
asas money follows function. Selain penyerahan sumber-sumber pembiayaan
tersebut, kepada masing-masing daerah juga diberikan keleluasaan untuk
menciptakan sumber-sumber penerimaan daerahnya sendiri dengan tetap
memperhatikan aspek legalitas hukum nasional. Sayangnya, heterogenitas
daerah di Indonesia sangat beragam. Beberapa daerah memiliki kekayaan
sumber daya alam (SDA) yang luar biasa. Beberapa daerah lainnya memiliki
sumber pajak yang besar. Namun hampir sebagian besar daerah lainnya
justru tidak dikaruniai SDA dan sumber pajak yang memadai. Akibatnya,
pemerintah tetap harus memberikan bantuan kepada daerah melalui
mekanisme Transfer ke Daerah (TkD). PEMBANGUNAN DESA
TkD dalam APBN terdiri dari Dana Perimbangan (Daper) dan Dana Otonomi
Khusus dan Penyesuaian (Otsus). Daper terdiri dari Dana Bagi Hasil
(DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). DBH dan
DAU diberikan kepada daerah dalam bentuk block grant, dan dapat
digunakan secara mandiri oleh daerah tanpa ada aturan penggunaannya.
Sementara DAK bersifat spesifik dengan aturan yang tegas dalam mekanisme
pemanfaatan di daerah. Secara filosofi, DAU dan DAK digunakan sebagai
alat pemerataan antardaerah (horizontal imbalances), sementara DBH
digunakan sebagai pemerataan fiskal antara pusat dan daerah sekaligus
sebagai koreksi atas eksploitasi SDA di era Orde Baru. PEMBANGUNAN DESA
Sebagai sebuah mekanisme penyeimbang, idealnya besaran TkD ini
berkurang seiring dengan meningkatnya aspek kemandirian di daerah.
Faktanya, kondisi ini justru tidak terjadi di lapangan. Secara umum,
besaran TkD justru terus meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data
pemerintah, dalam tahun 2006, alokasi TkD telah mencapai Rp226,4 triliun
atau 33,7% total Belanja Negara. Sementara dalam APBN-P 2012, besaran
TkD mencapai Rp478,7 triliun atau 30,9% dari total Belanja Negara. Hasil
kesepakatan APBN-P 2014 menetapkan besaran TkD sebesar Rp596,5 dengan
tambahan alokasi Dana Desa (DD). PEMBANGUNAN DESA
Bersama dengan alokasi belanja subsidi, anggaran TkD ini kemudian
membebani APBN setiap tahunnya. Ketika pemerintah berhasil mereformasi
kebijakan subsidi BBM di era pemerintahan yang baru, beban TkD dalam
APBN masih terjadi hingga saat ini. TkD juga menimbulkan pola
ketergantungan baru daerah terhadap Pemerintah Pusat. Jika sebelumnya
alokasi subsidi BBM dianggap sebagai salah satu pemicu munculnya
kemacetan di beberapa kota besar, alokasi TkD khususnya DAU, justru
habis hanya untuk belanja rutin pegawai semata. Hampir di semua daerah,
persentase alokasi belanja rutin pegawainya mencapai di atas 50%, bahkan
ada beberapa daerah yang mencapai 70%. PEMBANGUNAN DESA
Dengan persentase alokasi tersebut, tujuan penciptaan kemandirian di
daerah terasa semakin jauh dari harapan. Ruang fiskal APBD yang sedianya
dialokasikan untuk belanja pembangunan dan infastruktur, semakin lama
semakin mengecil serta tidak signifikan dalam mengentaskan permasalahan
pembangunan dan kemiskinan di daerah. Sebetulnya daerah masih memiliki
sumber pendanaan asli daerah (PAD) yang berasal dari pajak dan retribusi
daerah, BUMD dan berbagai PAD lainnya. Namun dengan rata-rata kemampuan
PAD seluruh daerah hanya berkisar antara 15%-20% dari total kebutuhan
daerah, tentu jauh dari yang diharapkan. Angka tersebut sekaligus
mengindikasikan rendahnya kemandirian daerah dalam membiayai pelaksanaan
kewajiban dan kewenangannya.
Pembatasan Belanja Pegawai PEMBANGUNAN DESA
Tingginya beban alokasi belanja pegawai ini kemudian dipandang
sebagai permasalahan utama rendahnya kemampuan membangun di daerah,
bersama dengan persoalan kelembagaan dan korupsi. Keseluruhan masalah
inilah yang kemudian harus dipandang secara serius oleh pemerintah
terkait dengan evaluasi pelaksanaan desentralisasi fiskal. Jangan sampai
pelaksanaan desentralisasi justru dianggap gagal dan Indonesia akan
terus berada dalam situasi yang mengarah kepada jurang kehancuran. PEMBANGUNAN DESA
Sementara itu sinyal positif sepertinya diperlihatkan oleh pemerintah
seiring dengan pembahasan draf revisi UU Nomor 33 tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Dalam keterangannya, pemerintah menyampaikan adanya rencana pembatasan
porsi belanja pegawai maksimal 50% dari total Belanja Daerah. Jika
belanja pegawai dapat dibatasi hingga maksimal 50%, maka alokasi belanja
pembangunan dan infrastruktur pelayanan umum dapat ditingkatkan di
level yang signifikan. Dalam konteks kekinian, pemerintah juga
mewajibkan masing-masing daerah untuk membatasi alokasi belanja
pegawainya demi mengakomodasi kebutuhan Pilkada serentak yang akan
segera dijalankan. PEMBANGUNAN DESA
Dalam kesempatan lainnya, Menteri Keuangan (Menkeu) juga menyebutkan
bahwa pemerintah sendiri telah menyusun rencana kebijakan strategis TkD
dan DD tahun 2016 di antaranya adalah memenuhi arahan Presiden terkait
penyediaan dana block grant pembangunan infrastruktur 100 miliar per
kabupaten/kota, melanjutkanaffirmative policy terkait DAK untuk
daerah-daerah tertinggal, terluar, terpencil serta yang kapasitas
pemerintahannya belum memadai dalam memberikan fungsi pelayanan publik. PEMBANGUNAN DESA
Berikutnya adalah kebijakan pengalokasian DAU tetap difokuskan untuk
mengurangi ketimpangan fiskal antardaerah sehingga bobot terbesar wajib
diberikan kepada daerah-daerah dengan kapasitas fiskal rendah. Terakhir
adalah pemenuhan alokasi DD sebesar 10% dari dan diluar dana TkD.
Rencana tersebut kemudian diapresiasi secara positif oleh beberapa
pengamat. Meskipun dinilai normatif, namun rencana tersebut menawarkan
konsep reformasi kebijakan anggaran di daerah.
Dalam kacamata penulis, rencana tersebut sebetulnya cukup baik namun
perlu disempurnakan dengan beberapa kebijakan mendasar lainnya.
Reformasi formula penghitungan DAU misalnya menjadi catatan yang perlu
diperhatikan khususnya dari aspek transparansi dan akuntabilitas.
Alokasi dasar belanja pegawai daerah juga wajib dikeluarkan dalam
formulasi penghitungan DAU. Jika tidak, selamanya beban belanja pegawai
daerah akan selalu membebani APBN.
Catatan berikutnya terkait dengan komposisi besaran DAU dan DAK.
Sebagai mekanisme anggaran yang bersifat spesifik (ear marking), DAK
sepertinya perlu diperluas komposisinya demi menciptakan pertumbuhan dan
pembangunan di daerah. DAU justru perlu untuk ditinjau kembali
besarannya seiring dengan pembatasan belanja pegawai, karena faktanya
DAU hanya merepresentasikan belanja pegawai semata. Mekanisme evaluasi
dan transparansi kebijakan anggaran daerah juga perlu dipertegas.
Instrumen reward and punishment perlu benar-benar dijalankan sesuai
sistem penganggaran kinerja. PEMBANGUNAN DESA
Daerah yang berprestasi perlu diberikan reward sementara daerah yang
kinerjanya buruk perlu diberi punishment baik dalam bentuk penundaan
anggaran atau pengurangan anggaran. pemerintah juga perlu melakukan
berbagai inovasi dan berpikir out of the box. Janganlah semua
permasalahan di daerah hanya diatasi dengan memberikan tambahan
anggaran. Perlu dipikirkan inovasi pengentasan kemiskinan di daerah
misalnya dengan pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan pariwisata
berbasis masyarakat atau berbagai kegiatan yang bersifat komunal
lainnya. Justru ke depannya, jika pemberdayaan sektor komunal tersebut
dapat diciptakan, Pemerintah Pusat tidak perlu campur tangan dalam
mengatasi berbagai permasalahan kemiskinan, pengangguran dan masalah
sosial di daerah lainnya. PEMBANGUNAN DESA
Jika relasi hubungan masyarakat, pemerintah dan seluruh stakeholders
tersebut dapat diwujudkan, penulis yakin bahwa pola desentralisasi
fiskal di Indonesia akan menjadi best practice yang akan dirujuk oleh
seluruh negara di dunia, karena memang kita memiliki kapasitas dan
kemampuan untuk mewujudkannya. PEMBANGUNAN DESA
Joko Tri Haryanto
Pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI
No comments:
Post a Comment