![]() | |
Yusrizal Korkot Pariaman Sumbar, PNPM Mandiri Perkotaan |
“Sakali Aia Gadang, Sakali Tapian Barubah”.
Demikian ungkapan dalam pepatah-petitih orang Minang, yang artinya
(lebih kurang) adalah “Tiap pergantian pemimpin akan selalu membawa
perubahan sesuai dengan keinganan sang pemimpin”. Kondisi ini jua
berlaku terhadap nasib bangsa ini pada umumnya dan PNPM sebagai sebuah
program pemberdayaan pada khususnya.
Terhitung sejak 2007 dengan label PNPM dalam kontekstual pemberdayaan
turut mewarnai pembangunan bangsa ini. Terlepas dari segala kekurangan
dan kelebihannya PNPM telah membumbui jalannya roda pembangunan di
tengah masyarakat. PNPM telah cukup banyak berbuat dan telah dirasakan
manfaatnya oleh jutaan masyarakat Indonesia. Memang tidak sedikit pula
yang meragukan kesuksesan PNPM sebagai sebuah program dalam kontekstual
pemberdayaan.
Secara lugas pemberdayaan dapat diartikan sebagai suatu proses yang membangun manusia
atau masyarakat melalui pengembangan kemampuan masyarakat, perubahan
perilaku masyarakat, dan pengorganisasian masyarakat. Dari definisi
tersebut terlihat ada tiga tujuan utama dalam pemberdayaan
masyarakat, yaitu mengembangkan kemampuan masyarakat, mengubah perilaku
masyarakat, dan mengorganisir diri masyarakat.
Kemampuan masyarakat yang dapat dikembangkan tentunya banyak sekali.
Seperti kemampuan untuk berusaha, kemampuan untuk mencari informasi,
kemampuan untuk mengelola kegiatan, kemampuan dalam pertanian dan masih
banyak lagi sesuai dengan kebutuhan atau permasalahan yang dihadapi oleh
masyarakat. Dari beberapa orang pakar pemberdayaan yang coba saya
simpulkan ada beberapa prinsip dasar untuk mewujudkan masyarakat yang
berdaya atau mandiri, antara lain:
Pertama, penyadaran.
Untuk dapat maju atau melakukan sesuatu, ibaratkan seseorang yang
tertidur harus dibangunkan dari tidurnya. Demikian jua halnya dengan
masyarakat kita harus dibangunkan dari “tidur” keterbelakangannya. Orang
yang pikirannya tertidur merasa tidak mempunyai masalah, karena mereka
tidak memiliki aspirasi dan tujuan-tujuan yang harus diperjuangkan.
Penyadaran berarti bahwa masyarakat secara keseluruhan menjadi sadar
bahwa mereka mempunyai tujuan dan masalah. Masyarakat yang sadar juga
mulai menemukan peluang dan memanfaatkannya, menemukan sumberdaya yang
dimilikinya. Masyarakat yang sadar menjadi semakin tajam dalam
mengetahui apa yang sedang terjadi baik di dalam maupun di luar
masyarakatnya. Masyarakat menjadi mampu merumuskan kebutuhan-kebutuhan
dan aspirasinya.
Kedua, pelatihan. Pendidikan di sini bukan
hanya belajar membaca,menulis dan berhitung, tetapi juga meningkatkan
keterampilan-keterampilan bertani, kerumahtanggaan, industri dan cara
menggunakan pupuk. Juga belajar dari sumber-sumber yang dapat diperoleh
untuk mengetahui bagaimana memakai jasa bank, bagaimana membuka rekening
dan memperoleh pinjaman. Belajar tidak hanya dapat dilakukan melalui
sekolah, tapi juga melalui pertemuan-pertemuan informal dan
diskusi-diskusi kelompok tempat mereka membicarakan masalah-masalah
mereka.
Melalui pendidikan, kesadaran masyarakat akan terus berkembang. Perlu
ditekankan bahwa setiap orang dalam masyarakat harus mendapatkan
pendidikan, termasuk orang tua dan kaum wanita. Ide besar yang
terkandung di balik pendidikan kaum miskin adalah bahwa pengetahuan
menganggarkan kekuatan
Ketiga, pengorganisasian.
Agar menjadi kuat dan dapat menentukan nasibnya sendiri, suatu
masyarakat tidak cukup hanya disadarkan dan dilatih keterampilan, tapi
juga harus diorganisir. Organisasi berarti bahwa segala hal dikerjakan
dengan cara yang teratur. Ada pembagian tugas di antara
individu-individu yang akan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan tugas
masing-masing dan ada kepemimpinan yang tidak hanya terdiri dari
beberapa gelintir orang tapi kepemimpinan di berbagai tingkatan.
Masyarakat tidak mungkin diorganisir tanpa pertemuan-pertemuan yang
diselenggarakan secara rutin untuk mengambil keputusan-keputusan dan
melihat apakah keputusan-keputusan tersebut dilaksanakan. Wakil-wakil
dari semua kelompok harus berpartisipasi dalam proses pembuatan
keputusan. Selain pertemuan-pertemuan rutin, catatlah
keputusan-keputusan yang telah diambil. Notulensi itu akan dibacakan
dalam pertemuan berikutnya untuk mengetahui apakah orang-orang yang
bertanggung jawab terhadap keputusan tersebut sudah melaksanakan
tugasnya atau belum.
Tugas-tugas harus dibagikan pada berbagai kelompok, termasuk kaum
muda, kaum wanita, dan orangtua. Pembukuan yang sehat juga sangat
penting. Semua orang harus mengetahui penggunaan uang dan berapa
sisanya. Pembukuan harus dikontrol secara rutin misalnya setiap bulan
untuk menghindari adanya penyelewengan.
Keempat, pengembangan kekuatan. Kekuasaan
berarti kemampuan untuk mempengaruhi orang lain. Bila dalam suatu
masyarakat tidak ada penyadaran, latihan atau organisasi, orang-orangnya
akan merasa tak berdaya dan tak berkekuatan. Mereka berkata: kami tidak
bisa, kami tidak punya kekuatan.
Pada saat masyarakat merasa memiliki potensi atau kekuatan, mereka
tidak akan mengatakan lagi: kami tidak bisa. Mereka akan berkata: kami
mampu! Masyarakat menjadi percaya diri. Nasib mereka berada di tangan
mereka sendiri. Pada kondisi seperti ini bantuan yang bersifat fisik,
uang, teknologi, dan sebagainya. Hanya sebagai sarana perubahan sikap.
Bila masyarakat mempunyai kekuatan, setengah perjuangan untuk
pembangunan sudah dimenangkan. Tetapi perlu ditekankan kekuatan itu
benar-benar dari masyarakat bukan dari satu atau dua orang pemimpin
saja. Kekuatan masyarakat harus mengontrol kekuasaan para pemimpin.
Kelima, membangun dinamika.
Dinamika orang miskin berarti bahwa masyarakat itu sendiri yang
memutuskan dan melaksanakan program-programnya sesuai dengan rencana
yang sudah digariskan dan diputuskan sendiri. Dalam konteks ini
keputusan-keputusan sedapat mungkin harus diambil di dalam masyarakat
sendiri, bukan di luar masyarakat tersebut.
Lebih jauh lagi, keputusan-keputusan harus diambil dari dalam
masyarakar sendiri. Semakin berkurangnya kontrol dari masyarakat
terhadap keputusan-keputusan itu, semakin besarlah bahaya bahwa
orang-orang tidak mengetahui keputusan-keputusan tersebut atau bahkan
keputusan-keputusan itu keliru. Hal prinsip bahwa keputusan harus
diambil sedekat mungkin dengan tempat pelaksanaan atau sasaran.
Beberapa poin di ataslah yang telah dilakukan oleh PNPM selama ini di
masyarakat melalui programnya. Namun apalah hendak dikata seiring
dengan berjalannya waktu dan suksesi kepemimpinan nasional kita
seolah-olah keberadaan PNPM bagaikan air di daun keladi. Memang belum
ada seorangpun yang mau dan berani mengatakan pola seperti PNPM ataupun
program sejenis berlanjut atau tidak. Tapi menilik arah kebijakan
pemerintahan yang ada seakan PNPM akan tinggal kenangan, demikian jua
halnya dengan konsep pemberdayaan yang diterapkannya.
Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu
Keluarga Sejahtera (KKS) ala pemerintah kita sekarang seakan
menasbihkan, memproklamirkan bahwa proses pemberdayaan bukanlah jawaban
untuk penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Masyarakat kita tengah
digiring ke arah nan jauh berbeda dan berseberangan jalan dengan konsep
pemberdayaan yang selama ini kita agung-agungkan. Terlepas dari segala
macam dalil yang telah disampaikan kenapa dan untuk apa kartu ini
diterbitkan. Terbebas dari dalil pengalihan subsidi dari yang bersifat
komsumtif ka arah yang lebih baik dan lain sebagainya. Terlepas dari
segala gonjang-ganjing harga minyak dunia yang tengah turun dan kita
justru menaikkan harga minyak, biarlah itu berada pada lingkaran
perdebatan politis.
Namun, yang coba saya ambil benang merahnya adalah kita tengah
menggiring warga kepada jalur “lebih baik jadi tangan di bawah” dan
menjadi bangsa yang dimanja dan dininabobokkan untuk jangka waktu nan
singkat, alias temporer—jika terlalu vulgar untuk disebut bangsa
peminta-minta. Segala macam kartu yang ada hanya akan memberikan ruang
dan waktu kepada masyarakat kita untuk terus bermanja-manja,
mengandalkan kartu yang ada.
Sampai kapan pola seperti ini akan dijalankan dan negara sanggup
untuk mendanainya. Masyarakat bukanlah diberikan pancingnya tapi malah
diberikan ikannya. Kebijakan Kartu Sakti yang seakan menjanjikan surga
nyata, tapi sejatinya adalah surga yang fana dan sesaat. Bukankah lebih
baik kita memberdayakan mereka, memandirikan mereka agar bisa berjalan
dan tegak berdiri di kakinya sendiri?
Akhirul kalam semoga saja apa yang saya coba rangkai dan susun ini
jauh realitas lapangan ke depannya. Semoga saja bangsa ini lebih
cenderung menyadari bahwa tangan di atas jauh lebih baik dari pada
tangan di bawah. Jangan hanya terbuai dengan kesenangan dan kenikmatan
serta kemanjaan sesaat. Namun lebih mementingkan kemandirian dan bukan
hanya menanti serta mengharapkan bantuan.
Jika saja proses pemberdayaan yang sudah berlangsung sedemikian lama
dan telah menjadi bagian dari kehidupan warga harus dihentikan dan stop
untuk selamanya maka kita sepertinya berjalan mundur jauh ke belakang,
dan justru tengah menuju kehancuran bangsa. Semoga saja proses
pemberdayaan di masyarakat terus berjalan, terserah apapun itu
namanya—jika memang persoalan nama yang menjadi titik sentralnya. Semoga
saja. (Editor : Nina Firstavina)
No comments:
Post a Comment